“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Ayat ini mengingatkan kepada kita bahwa ukuran keberhasilan kita di dalam meniti karir keluarga kita diukur dari sejauh mana kita menghantarkan seluruh anggota keluarga kita ke gerbang pintu surga atau tidak, ketika kita gagal untuk menghantarkan seluruh anggota keluarga kita untuk masuk ke gerbang pintu surge berarti kita telah gagal dalam karir keluarga kita.
Dalam hidup ini, sekurang-kurangnya kita mempunyai 3 karir, yaitu karir pendidikan, karir pekerjaan dan karir keluarga, karir pendidikan ada selesainya, karir pekerjaan ada pensiunnya, akan tetapi karir keluarga tidak berhenti tujuh turunan. Setelah hari ini kita membentuk keluarga, bahkan akan kita demonstrasikan seumur hidup kita.
Dan bahkan jika pada hari ini, di dunia kita telah berhasil membentuk keluarga sakinah, maka kita akan dipertemukan insyaAllah dengan keluarga kita di surga nanti. Sehingga menjadi jelas bahwa karir keluarga bukan hanya karir dunia, tapi dapat menembus dimensi akhirat nanti. Oleh karena itu, menjadi penting bagi setiap kita untuk senantiasa melakukan introspeksi, siapapun kita, apapun status kita, dan dimanapun kita berada, setiap kita akan kembali ke rumah.
Jika pada hari ini kita kembali ke rumah sebagai anak, mungkin pada kesempatan lain kita kembali sebagai suami/istri, sebagai ayah/ibu untuk anak anak kita, sebagai menantu, sebagai mertua atau sebagai kakek dan yang jelas kita akan kembali ke rumah. Yang jadi masalah adalah apakah kita akan kembali ke rumah kita sebagai orang yang terbaik di rumah itu atau tidak, karena Rasulullah sendiri bersabda “sebaik-baik kamu adalah yang terbaik untuk keluargamu”
Apabila setiap anggota kembali ke rumah dengan niat untuk menjadi yang terbaik, maka baru disitulah kita akan menemukan apa yang disebut sebagai keluarga sakinah. Dan ini merupakan modal awal. Jika kita berbicara masalah keluarga, maka adalah satu persoalan yang menyangkut hidup kita selamanya, berbeda ketika kita berbicara persoalan-persoalan yang lain. Ini merupakan satu hal yang ideal ketika kita bisa mengantarkan seluruh anggota keluarga kita ke surga. Dan menjadi penting bagi kita untuk melihat bagaimana sebenarnya visi kita dalam berkeluarga.
Ibarat orang yang bekerja mengerjakan suatu pekerjaan, ternyata antara satu orang dengan orang yang lain, boleh jadi memiliki visi yang berbeda. Ketika seorang pelancong datang menemui 7 orang yang bekerja membangun sebuah bangunan, dan bertanya : “Bapak, apa yang sedang Bapak kerjakan?” berikut ini macam-macam jawaban mereka:
Pekerja 1 : dengan seenaknya menjawab “lihat aja sendiri”
Pekerja 2 : “saya sedang membangun tembok”
Pekerja 3 :“saya sedang membangun sebuah bangunan”
Pekerja 4 : Tersenyum sambil mengatakan “saya sedang membangun sebuah masjid”
Pekerja 5 : Tersenyum lebih lebar dan mengatakan “saya sedang membangun sebuah peradaban dunia”
Pekerja 6 : Tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri dan mengatakan “saya sedang membangun rumah saya disurga”
Pekerja 7 : “saya sedang membangun sebuah peradaban dunia dan juga membangun rumah saya di surga”.
Jelaslah disini kita, bahwa visi kita dalam membangun keluarga adalah seperti seorang pekerja yang sedang membuat bangunan, maka kita milikilah visi yang paling jauh dan luas, kita tidak sekedar membangun keluarga sekolah tapi lebih dari itu.
Untuk itu menjadi penting bagi kita untuk belajar. Dalam masyarakat Indonesia, jika kita umpamakan masyarakat Indonesia dalam sebuah album, maka sekurang-kurangnya ada 5 potret keluarga,
1. Potret keluarga arena tinju
Adalah satu keluarga dimana suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga selalu diwaranai percekcokan. Ada orang yang mengatakan “Setiap di cek gak pernah cocok, makanya cekcok”. Tapi yang jelas dalam potret keluarga arena tinju ini, suami dan istri tidak pernah berada pada sudut yang sama, ketika suami berdiri di sudut merah, maka sang istri berdiri di sudut biru. Masing masing pihak selalu berusaha melancarkan aksinya untuk mengalahkan lawannya.
2. Potret keluarga Pasar
Adalah satu keluarga dimana suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga mereka, mereka terlalu main itungan, masing-masing pihak tidak mau memberi lebih banyak kepada pasangan hidupnya atau masing-masing pihak tidak mau memberi sebelum mereka menerima.
Masing-masing pihak merasa dirinyalah yang lebih banyak berkorban dalam rumah tangganya, apakah itu waktu, tenaga, fikiran, dll. Sehingga ketika seorang istri ngambek kepada suaminya, ia akan berkata, “akang ini enak ya, keluar rumah terus, saya ini kang, di rumah terus yang korban perasaan”. Disini si istri sedang ingin mengkomunikasikan kepada suaminya bahwa ia yang lebih banyak berkorban yaitu korban perasaan.
3. Potret keluarga Sekolah
Adalah satu keluarga dimana suami, istri, dan seluruh anggota keluarganya dalam kehidupan rumah tangganya dipenuhi dengan warna warni, saling asah, saling asih, dan saling asuh. Saling asah berarti mereka saling memberi informasi saling membagi ilmu. Saling asih berarti mereka saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling asuh berarti saling dukung dan saling peduli.
4. Potret keluarga Rumah Sakit
Adalah satu keluarga dimana pola hubungan suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga mereka ditandai dengan pola seperti dokter dan pasien. Adakalanya pasien butuh dokter, tapi adakalanya juga dokter yang butuh pasien. Sangat bergantung dari status sosial ekonomi dari sang pasien. Kalau misalnya pasien berasal dari keluarga ekonomi rendah dan ia mendapatkan seorang dokter yang tidak mensyaratkan sejumlah uang muka untuk rawat inap, maka pada saat itulah ia merasa sang pasien butuh dokter.
Dalam sebuah anekdot, dalam sebuah lelucon misalnya, dokter mengatakan “waduh bapak ini gimana, jantungnya udah busuk, bagaimana kalo jantungnya dicopot aja pak?” lalu sang pasien menjawab “iya pak dokter, yang penting sembuh”. Nah dalam titik ini bisa dilihat sang pasien sudah pasrah, jadi si pasien sudah lupa bahwa jika jantungnya di lepas, bukan hanya penyakitnya yang hilang, tapi lebih dari itu, nyawanya juga akan hilang.
Akan tetapi jika si pasien berasal dari status ekonomi yang tinggi, maka ia tidak butuh dokter. Karena ia punya uang banyak, dengan uangnya ia bisa membayar banyak dokter pribadi. Bahkan ada seorang pasien di Indonesia, ia tidak hanya punya satu dokter pribadi tapi 13, untuk jantungnya sendiri, ginjalnya sendiri, paru-parunya sendiri, jadi sebenarnya sang pasien tidak punya dokter pribadi, yang punya dokter pribadi adalah organ-organ tubuhnya.
Ketika ada salah satu anggota keluarganya terkena ekstasi dan dalam aliran darahnya sudah mengalir drug, dan dari hasil pemeriksaan dokter sudah positif. Maka dipanggilah si dokter itu “pak dokter, saya tidak mau wartawan sampai tau kasus anak saya, kalo wartawan sampai tau kasus anak saya, bapak akan saya pecat sebagai dokter pribadi saya” dan sang dokter hanya dapat mengatakan “iya, baik pak”.
Disini kondisinya terbalik, bukan sang pasien butuh dokter tapi dokter yang butuh pasien. Sehingga ketika seorang istri di potret keluarga rumah sakit ini marah pada suaminya, ia akan berkata “halah, mas ini apa, kalo dulu mas gak nikah sama saya, mas itu miskin, mas kaya karena dikasih perusahaan sama orang tua saya, coba mas lihat, mobil, rumah, semua dari siapa mas? Dari orang tua saya”. Atau sebaliknya ketika suami marah, ia akan berkata “halah kamu ini apa, kalo dulu kamu tidak saya pungut jadi istri, kamu tuh jadi apa”. Mereka hidup bersama, tetapi mereka tidak saling angkat, tapi saling ungkit.
5. Potret keluarga Kuburan
Adalah satu keluarga dimana pola hubungan suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga mereka selalu bersama, tapi mereka tidak pernah bertegur sapa. Jadi pola berumah tangga mereka, seperti bertetangganya dua buah kuburan, di bawah naungan pohon kamboja.
Semoga, dalam kehidupan keluarga kita, kita bisa memilih potret keluarga terbaik, dan bisa mengantarkan seluruh anggota keluarga kita ke surga kelak. Aamiin …
Oleh : Peni Ustriani, diresume dari kajian Ustadz Budi Darmawan
No comments:
Post a Comment